Jumat, 03 Juni 2016

TOPENG

Orang-orang riuh bersliweran di samping kiri, kanan, depan, dan belakangku.

Aku, sedang menduduki kursi kayu di sebuah kedai kopi kecil, pojok lantai satu sebuah pusat perbelanjaan, tetap bergeming. Tetap (dengan sengaja) menekan jejeran tombol huruf di komputer jinjing biru yang sejauh ini terbukti lebih setia dari kekasihku. MANTAN, lebih tepatnya.
Bunyi musik dari pengeras suara di sekujur dinding samar tertangkap di telinga. Tersapu gemuruh suara dari mereka semua yang tanpa nama.
Aku tak peduli.
Ada sesuatu yang selalu memisahkan aku dan keramaian, di mana pun itu. Semacam ruang suwung yang berada di antara tubuhku dan kebisingan. Entah itu semacam sawan atau apa. Aku tak tahu, dan tak pernah mau mencari tahu!
Lagipula, buatku dunia hanyalah tonil.
Tempat mereka tertawa tutupi hati yang luka.
Menyungging senyum ramah saat kalbu terdiam resah.
Jagad ini dipenuhi topeng, yang makin lekat tertempel pada muka setiap makhluk berlabel 'manusia'.
Termasuk aku, (Mungkin).
Maksudku, lihat saja bagaimana sesama rekan kerja tertawa saat sedang berhadap-hadapan, tapi setelah itu saling mempergunjingkan.
Bagaimana mereka yang kau anggap teman mengangkatmu, tapi setelah itu membantingmu ke tanah dengan keras dari belakang tanpa kau duga-duga.
Atau BAGAIMANA IA YANG KAU ANGGAP TERSAYANG BERMANIS MUKA DAN MEMBAGI RASA PADA SELAINMU DI WAKTU SENGGANGNYA!!
Ya, kejujuran telah lama hilang.
Jikapun kau bertemu kembali dengannya, ia hanya akan memunggungi dan berlari menjauhi, terdorong muak dengan kenyataan, keadaan dunia yang tak lagi menghargai nurani.
Alam fana sudah milik para pembohong dan perampas hak orang. Punya sang penindas yang kejam dan menjauhi kaum Papa yang terabaikan.
Kebenaran bakal menang, katamu?
Hei. Layaknya sejarah, kebenaran bergantung pada mereka yang memiliki momentum dan sumber daya untuk mengklaimnya. Betapa naif dirimu, membawa serta kebenaran dalam argumentasi kosong dan keberpihakan buta padanya.
Kebenaran saat ini telah menjadi milik mereka yang mengusung kuasa di bawah panji sabda negara, si pengarang yang main mata, pengadil yang jauh dari keadilan, dan buaya domestik yang alergi pada cicak dan kroninya.
Silahkan sebut aku apatis, skeptis, pesimistis, atau –is, -is lainnya sesukamu. Aku akan diam, dan hanya balik memandang topeng yang sedang kau mainkan.
Topeng yang aku sedang pegang dan terkadang menggugat untuk dipasang.
Topeng yang di baliknya terukirkan kata yang tidak boleh disebut, cukup tahu sama tahu: (Munafik)
Ssssssttt......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar