'Ku lihat hatimu mengutuki ragamu ..
Takdir yang kau emban terasa membunuhmu ..
Jalan yang kau tapaki begitu semu ..
Seolah tiada arti bagi nafasmu ..
Pernahkah kau coba menerka jauh menuju lampau ..
Kala kau pilih tikungan tajam hanya demi sebuah bakpau ..
Kala bakpau itu membuatmu buta akan segala sudut surau ..
Hingga suaramu kini menjadi parau bagaikan kemarau ..
Tiada yang salah pada hidupmu saat ini ..
Tiada yang salah dengan pilihanmu tempo hari ..
Tiada yang boleh disesalkan dalam hati ..
Yang salah adalah caramu menerima takdir ini ..
Tiada api tanpa asap, tiada nasi tanpa beras ..
Sampai kapan kau akan meratapi kehidupanmu yang keras?
Haruskah 'ku tampar kau bolak-balik agar kau waras?
Atau haruskah 'ku sabar menghadapimu dengan nasihat yang gemas?
Kau berkata teman-temanmu hanya ada di dunia maya ..
Dusta belaka!
Bahkan pena dan kertas yang kerap kau genggam tak sudi mendengarnya ..
Karena mereka adalah kawanmu di dunia nyata ..
Apakah kau meratap dan memohon kepada-Nya untuk dilahirkan kembali?
Dan jika ratapan juga permohonanmu terkabul, akankah kau ubah dirimu setiap senti?
Daripada meratapa pungguk merindukan sang bulan di malam hari ..
Lebih baik melangkah dan hadapi duniamu ini, kau takkan pernah sendiri ..
Sajakku, tertuang dalam bait-bait untaian hati ..
Untukmu, kawan sejawat yang bersedih hati ..
Tiada kepedihan lain selain ditinggal mati ..
Namun, apakah itu menjadi alasanmu untuk ingin mati?
Atau menjadikan hal itu sebagai alasanmu mengutuki hidup ini?
Atau menjadikan hal itu sebagai alasanmu menggila sampai saat ini?
Bodoh kali kau ini!
Jika Tuhan menginginkamu mati, maka kau sudah mati tempo hari!
Untukmu sahabat pena ..
Bukan waktu yang lama kita saling bersua dalam maya ..
Namun aku telah tega memakimu gila ..
Maafkan aku yang hanya mampu berusaha mewaraskanmu lewat sajak hina ..
-kepada shittyman-
Ketika tangan tak mampu memberi, ketika bibir tak dapat menanggapi, dan ketika hati tidak bisa memahami. Bacalah perlahan! Karena alasan tulisan, persembahan hati untuk perasaan.
Sabtu, 11 Juni 2016
Jumat, 03 Juni 2016
TOPENG
Orang-orang riuh bersliweran di samping kiri, kanan, depan, dan belakangku.
Aku, sedang menduduki kursi kayu di sebuah kedai kopi kecil, pojok lantai satu sebuah pusat perbelanjaan, tetap bergeming. Tetap (dengan sengaja) menekan jejeran tombol huruf di komputer jinjing biru yang sejauh ini terbukti lebih setia dari kekasihku. MANTAN, lebih tepatnya.
Bunyi musik dari pengeras suara di sekujur dinding samar tertangkap di telinga. Tersapu gemuruh suara dari mereka semua yang tanpa nama.
Aku tak peduli.
Bunyi musik dari pengeras suara di sekujur dinding samar tertangkap di telinga. Tersapu gemuruh suara dari mereka semua yang tanpa nama.
Aku tak peduli.
Ada sesuatu yang selalu memisahkan aku dan keramaian, di mana pun itu. Semacam ruang suwung yang berada di antara tubuhku dan kebisingan. Entah itu semacam sawan atau apa. Aku tak tahu, dan tak pernah mau mencari tahu!
Lagipula, buatku dunia hanyalah tonil.
Lagipula, buatku dunia hanyalah tonil.
Tempat mereka tertawa tutupi hati yang luka.
Menyungging senyum ramah saat kalbu terdiam resah.
Jagad ini dipenuhi topeng, yang makin lekat tertempel pada muka setiap makhluk berlabel 'manusia'.
Termasuk aku, (Mungkin).
Maksudku, lihat saja bagaimana sesama rekan kerja tertawa saat sedang berhadap-hadapan, tapi setelah itu saling mempergunjingkan.
Jagad ini dipenuhi topeng, yang makin lekat tertempel pada muka setiap makhluk berlabel 'manusia'.
Termasuk aku, (Mungkin).
Maksudku, lihat saja bagaimana sesama rekan kerja tertawa saat sedang berhadap-hadapan, tapi setelah itu saling mempergunjingkan.
Bagaimana mereka yang kau anggap teman mengangkatmu, tapi setelah itu membantingmu ke tanah dengan keras dari belakang tanpa kau duga-duga.
Atau BAGAIMANA IA YANG KAU ANGGAP TERSAYANG BERMANIS MUKA DAN MEMBAGI RASA PADA SELAINMU DI WAKTU SENGGANGNYA!!
Ya, kejujuran telah lama hilang.
Atau BAGAIMANA IA YANG KAU ANGGAP TERSAYANG BERMANIS MUKA DAN MEMBAGI RASA PADA SELAINMU DI WAKTU SENGGANGNYA!!
Ya, kejujuran telah lama hilang.
Jikapun kau bertemu kembali dengannya, ia hanya akan memunggungi dan berlari menjauhi, terdorong muak dengan kenyataan, keadaan dunia yang tak lagi menghargai nurani.
Alam fana sudah milik para pembohong dan perampas hak orang. Punya sang penindas yang kejam dan menjauhi kaum Papa yang terabaikan.
Alam fana sudah milik para pembohong dan perampas hak orang. Punya sang penindas yang kejam dan menjauhi kaum Papa yang terabaikan.
Kebenaran bakal menang, katamu?
Hei. Layaknya sejarah, kebenaran bergantung pada mereka yang memiliki momentum dan sumber daya untuk mengklaimnya. Betapa naif dirimu, membawa serta kebenaran dalam argumentasi kosong dan keberpihakan buta padanya.
Kebenaran saat ini telah menjadi milik mereka yang mengusung kuasa di bawah panji sabda negara, si pengarang yang main mata, pengadil yang jauh dari keadilan, dan buaya domestik yang alergi pada cicak dan kroninya.
Silahkan sebut aku apatis, skeptis, pesimistis, atau –is, -is lainnya sesukamu. Aku akan diam, dan hanya balik memandang topeng yang sedang kau mainkan.
Topeng yang aku sedang pegang dan terkadang menggugat untuk dipasang.
Topeng yang di baliknya terukirkan kata yang tidak boleh disebut, cukup tahu sama tahu: (Munafik)
Ssssssttt......
Langganan:
Postingan (Atom)