Sabtu, 11 Juni 2016

SAJAK TUK MEWARASKANMU

'Ku lihat hatimu mengutuki ragamu ..
Takdir yang kau emban terasa membunuhmu ..
Jalan yang kau tapaki begitu semu ..
Seolah tiada arti bagi nafasmu ..

Pernahkah kau coba menerka jauh menuju lampau ..
Kala kau pilih tikungan tajam hanya demi sebuah bakpau ..
Kala bakpau itu membuatmu buta akan segala sudut surau ..
Hingga suaramu kini menjadi parau bagaikan kemarau ..

Tiada yang salah pada hidupmu saat ini ..
Tiada yang salah dengan pilihanmu tempo hari ..
Tiada yang boleh disesalkan dalam hati ..
Yang salah adalah caramu menerima takdir ini ..

Tiada api tanpa asap, tiada nasi tanpa beras ..
Sampai kapan kau akan meratapi kehidupanmu yang keras?
Haruskah 'ku tampar kau bolak-balik agar kau waras?
Atau haruskah 'ku sabar menghadapimu dengan nasihat yang gemas?

Kau berkata teman-temanmu hanya ada di dunia maya ..
Dusta belaka!
Bahkan pena dan kertas yang kerap kau genggam tak sudi mendengarnya ..
Karena mereka adalah kawanmu di dunia nyata ..

Apakah kau meratap dan memohon kepada-Nya untuk dilahirkan kembali?
Dan jika ratapan juga permohonanmu terkabul, akankah kau ubah dirimu setiap senti?
Daripada meratapa pungguk merindukan sang bulan di malam hari ..
Lebih baik melangkah dan hadapi duniamu ini, kau takkan pernah sendiri ..

Sajakku, tertuang dalam bait-bait untaian hati ..
Untukmu, kawan sejawat yang bersedih hati ..
Tiada kepedihan lain selain ditinggal mati ..
Namun, apakah itu menjadi alasanmu untuk ingin mati?

Atau menjadikan hal itu sebagai alasanmu mengutuki hidup ini?
Atau menjadikan hal itu sebagai alasanmu menggila sampai saat ini?
Bodoh kali kau ini!
Jika Tuhan menginginkamu mati, maka kau sudah mati tempo hari!

Untukmu sahabat pena ..
Bukan waktu yang lama kita saling bersua dalam maya ..
Namun aku telah tega memakimu gila ..
Maafkan aku yang hanya mampu berusaha mewaraskanmu lewat sajak hina ..

-kepada shittyman-

Jumat, 03 Juni 2016

TOPENG

Orang-orang riuh bersliweran di samping kiri, kanan, depan, dan belakangku.

Aku, sedang menduduki kursi kayu di sebuah kedai kopi kecil, pojok lantai satu sebuah pusat perbelanjaan, tetap bergeming. Tetap (dengan sengaja) menekan jejeran tombol huruf di komputer jinjing biru yang sejauh ini terbukti lebih setia dari kekasihku. MANTAN, lebih tepatnya.
Bunyi musik dari pengeras suara di sekujur dinding samar tertangkap di telinga. Tersapu gemuruh suara dari mereka semua yang tanpa nama.
Aku tak peduli.
Ada sesuatu yang selalu memisahkan aku dan keramaian, di mana pun itu. Semacam ruang suwung yang berada di antara tubuhku dan kebisingan. Entah itu semacam sawan atau apa. Aku tak tahu, dan tak pernah mau mencari tahu!
Lagipula, buatku dunia hanyalah tonil.
Tempat mereka tertawa tutupi hati yang luka.
Menyungging senyum ramah saat kalbu terdiam resah.
Jagad ini dipenuhi topeng, yang makin lekat tertempel pada muka setiap makhluk berlabel 'manusia'.
Termasuk aku, (Mungkin).
Maksudku, lihat saja bagaimana sesama rekan kerja tertawa saat sedang berhadap-hadapan, tapi setelah itu saling mempergunjingkan.
Bagaimana mereka yang kau anggap teman mengangkatmu, tapi setelah itu membantingmu ke tanah dengan keras dari belakang tanpa kau duga-duga.
Atau BAGAIMANA IA YANG KAU ANGGAP TERSAYANG BERMANIS MUKA DAN MEMBAGI RASA PADA SELAINMU DI WAKTU SENGGANGNYA!!
Ya, kejujuran telah lama hilang.
Jikapun kau bertemu kembali dengannya, ia hanya akan memunggungi dan berlari menjauhi, terdorong muak dengan kenyataan, keadaan dunia yang tak lagi menghargai nurani.
Alam fana sudah milik para pembohong dan perampas hak orang. Punya sang penindas yang kejam dan menjauhi kaum Papa yang terabaikan.
Kebenaran bakal menang, katamu?
Hei. Layaknya sejarah, kebenaran bergantung pada mereka yang memiliki momentum dan sumber daya untuk mengklaimnya. Betapa naif dirimu, membawa serta kebenaran dalam argumentasi kosong dan keberpihakan buta padanya.
Kebenaran saat ini telah menjadi milik mereka yang mengusung kuasa di bawah panji sabda negara, si pengarang yang main mata, pengadil yang jauh dari keadilan, dan buaya domestik yang alergi pada cicak dan kroninya.
Silahkan sebut aku apatis, skeptis, pesimistis, atau –is, -is lainnya sesukamu. Aku akan diam, dan hanya balik memandang topeng yang sedang kau mainkan.
Topeng yang aku sedang pegang dan terkadang menggugat untuk dipasang.
Topeng yang di baliknya terukirkan kata yang tidak boleh disebut, cukup tahu sama tahu: (Munafik)
Ssssssttt......

Minggu, 06 Maret 2016

IKHLAS

Ini adalah kisah SAHABATku tentang ayahnya:

Dulu aku pernah tidak setuju dengan ayahku yang menolong orang tanpa menyelidiki terlebih dahulu. Entah knapa ayahku begitu mudahnya percaya pada orang-orang yang meminta tolong kepadanya, baik itu tenaga maupun materi, selama ayahku ada atau mampu, dia pasti akan berikan pada setiap orang tanpa pandang bulu. Sampai-sampai tabungan yang ia kumpulkan dari jerih payahnya berjualan mie pangsit bertahun-tahun lalu, dengan gampangnya dia berikan kepada orang-orang yang meminta bantuan materi kepadanya.

Pernah aku bertanya pada beliau, “Ayah mengapa ayah korbankan tabungan ayah untuk orang-orang yang ayah tidak tahu apakah mereka benar-benar membutuhkannya atau cuma menipu".
Beliau menjawab “Nak, selama kita menganggap orang lain itu baik, maka pertolongan yang kita berikanpun akan dianggap baik oleh Tuhan. Sebenarnya rasa yang ayah rasakan saat kita mampu menolong orang yang membutuhkan itu saja sudah sangat cukup membahagiakan ayah, membuat ayah sangat bersukur kepada Tuhan”.

Saat itu aku masih memprotesnya, “Tapi ayah sudah bertahun-tahun menabung, sejak ayah berjualan mie pangsit keliling sampai ayah sanggup membuka kedai mie pangsit yang cukup besar. Uang yang ayah kumpulkan itu seharusnya bisa kita gunakan untuk mengembangkan usaha ayah, atau kita gunakan untuk membeli rumah baru yang lebih besar dari rumah kita sekarang, membeli mobil baru, atau mungkin kita gunakan untuk berlibur keliling Indonesia bahkan ke luar negeri. Kalau ayah memanajemennya dengan baik, dan membagi-bagi harta yang ayah miliki pada pos-post yang sudah ayah tentukan sebelumnya, tentu ayah tidak harus sampai mengorbankan tabungan ayah” kataku setengah berteriak.
Dengan sabar ayahku menjawab “Ayah doakan suatu saat kamu akan mengerti bahwa tak seharusnya kita mengorbankan hak-hak orang lain yang membutuhkan bantuan demi memuaskan keinginan diri kita sendiri. Yang paling utama, ayah tidak mengorbankan hak-hak ibumu dan anak-anak ayah untuk hidup cukup dan mendapat pendidikan sampai kamu dapat berdiri sendiri”.

Setelah ayah meninggal, sempat terselip penyesalan mengapa ayah tidak mendengar kata-kataku, dan yang terjadi sekarang yang ayah wariskan cuma rumah kecil, kedai mie pangsit dan beberapa barang sederhana.

Hal pertama yang menghiburku adalah banyaknya pelayat yang mengiringi ayah ke kuburan. Orang-orang di jalan yang melihat iring-iringan pelayat menyangka yang dimakamkan adalah pejabat. Tak perlu menunggu lama, banyak orang-orang berdatangan dan dulu mengaku pernah dibantu oleh ayah, karena mereka sekarang sudah sukses, merekapun memberi bantuan kepada keluarga kami. Bahkan ada yang menawarkan pekerjaan kepada anak-anak ayah yang ingin bekerja. Kami menolaknya dengan baik-baik. Uang bantuan yang diberikan itu kami jadikan modal untuk mengembangkan usaha mie pangsit yang telah ayah bangun. Ternyata usaha kami berkembang sangat cepatnya karena lebih banyak lagi orang-orang yang merasa pernah ditolong ayah membantu usaha kami. Dan setiap aku atau adik-adikku melakukan suatu urusan atau bepergian keluar kotapun, hampir bisa dipastikan kami bertemu meskipun tidak secara sengaja dengan orang-orang yang mengaku mengenal ayah kami. Dan begitu tahu bahwa kami anak ayah, maka kemudahan-kemudahanlah yang kami dapat dari mereka.

Dan saat ini dari hasil bisnis keluarga yang berkembang pesat aku mampu membuka cabang-cabang usaha di beberapa daerah, mengirim adik-adikku pada tingkat sarjana, bahkan saat ini mereka ditawarkan kuliah lanjutan S2 oleh salah seorang kawan lama ayah yang mengaku pernah ditolong oleh ayah. Ini membuatku teringat kata-kata beliau bahwa, "Hidup tidak selalu tentang memuaskan keinginan pribadi kita. Bahagia tidak selalu diukur dari barang-barang mewah yang kita miliki. Dan menolong orang lain tidak selalu saat kita berada di puncak tertinggi kehidupan".
Semua kebaikan ayah, kamilah anak-anaknya yang menuainya, menikmati hasilnya di dunia. Dan aku yakin ayah menuai hasilnya di surga. Ayah memang tidak mewariskan harta yang banyak, rumah besar dan barang mewah, tetapi beliau mewariskan kepada semua orang kebaikan yang banyak. Dan karena kebaikan itulah kami hidup dihormati dan disayangi oleh orang-orang. Dalam hati aku berjanji akan akan meneruskan sikap dan sifat ayahku, karena setiap orang yang membutuhkan layak mendapat bantuan.

"Amsal 3:27 Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya."

Kadang, kisah cinta tak hanya milik DUA ORANG

"Mencintai jadi begitu menakutkan jika kamu adalah pihak ketiga, penghancur segalanya" 

Aku bahkan tak mengerti bagaimana statusku dengan dia. Dia dengan istrinya dan aku juga bersamanya. Aku tak peduli bagaimana mempersepsikan statusku, sebagai simpanan atau bahkan sebagai penghancur hubungan orang, tapi toh tidak separah itu. Aku tak menuntut banyak hal darinya, kami saling mencintai dan pentingkah status? Aku rasa tidak.

Lupakan makan malam romantis, berbagi coklat manis, atau bahkan tanganmu menghapus air mataku saat menangis. Aku hanya kau temui secara sembunyi-sembunyi, saat kau meninggalkan pekerjaanmu hanya untukku atau saat kau tidak bersama dengan istrimu. Dalam waktu yang sangat singkat itu, aku berharap bisa terus menahanmu, karena aku benci selalu jadi prioritas kedua, karena aku benci harus kehilangan kamu saat aku benar-benar membutuhkanmu.

Ada saat-saat dalam hidupku, saat aku tetap meyakini bahwa ini hanya sementara. Aku masih meyakini suatu saat aku akan menjadi satu-satunya untuk selamanya dalam hidupmu, kamu akan menangis memelukku saat aku mengenakan gaun pengantin, kamu akan menjadi satu-satunya orang yang aku lihat saat aku terbangun dari mimpi, kita akan bahagia. Aku masih menyakini bahwa aku tidak selamanya jadi yang kedua, aku tidak selamanya akan terus kau sembunyikan. Aku masih sibuk merancang mimpi indah untuk hubungan kita, walaupun kutahu kau tak pernah menghabiskan waktumu hanya untuk memikirkan akhir dari hubungan kita. 

Aku benci saat-saat kau menghancurkan mimpiku dengan mengatakan bahwa kau tak mungkin meninggalkan istrimu dan juga takkan mungkin meninggalkanku. Aku benci harus menata ulang mimpi itu dari awal tanpa kau meminjamkan pundakmu saat aku menangis. Lalu, untuk apa kata cinta itu kau perdengarkan, jika kau Tak bisa menjadikanku satu-satunya wanita yang kau cintai? Jika kau hanya bisa menyembunyikanku dari sorotan dunia? Jika kau hanya menutup-nutupi cerita kita dari istrimu?

Kita sering berkhayal dan bermimpi, khayalan yang akan membuat aku dan kamu tertawa lepas, berbagi tawa dan bahagia dalam sebuah ketakutan bahwa hubungan rahasia ini akan diketahui oleh seseorang selain kita berdua.

Selama ini, saat aku bersamamu, aku lupa apa arti cinta. Perasaanku mati untuk merasakan bahagia. Aku terbiasa dengan perasaan sakit yang kubuat sendiri, aku terbiasa dengan kelakuanmu yang kadang tak menganggapku ada. Kamu terlanjur membuatku percaya, bahwa cinta adalah kesabaran menjadi orang ketiga. Aku terlalu lama menyiksa diriku sendiri, hanya untuk mengharapkanmu, kamu yang tak pernah menganggap perasaanku ada dan nyata. Aku juga ingin bahagia, seperti kamu dan istrimu. Aku ingin bahagia, tanpa harus bersembunyi dan dikejar rasa ketakutan.

Aku ingin bahagia. Dan jika bahagia berarti melupakanmu, akan terus aku coba untuk melakukannya. Aku percaya bahwa sesuatu yang dipersatukan oleh Tuhan tidak dapat dipisahkan oleh manusia. Aku percaya bahwa hubungan yang telah dikuduskan oleh Tuhan tidak dapat dinodai oleh manusia. Aku ingin mengakhiri semua dosa ini. Jadi, biarkan aku jatuh cinta pada seseorang selain kamu, yang akan mengutamakanku dalam berbagai hal, yang tidak akan menyembunyikanku dari sorotan mata dunia, dan yang akan memayungiku saat hujan mencoba menggelitik manja tubuhku. Jika bahagia berarti melupakan bayangmu yang terhisap kangen tadi malam, akan aku lakukan.

Istrimu berhak mendapatkan kesetiaanmu, dia tentu bukan wanita yang kau nikahi dalam ketergesa-gesaan. Cintailah dia seperti pertama kali cinta itu ada dan menggetarkan hatimu dengan luar biasa. Percayalah, aku akan menemukan bahagia.Kita akan bahagia dalam jalan kita masing-masing, tanpa harus menyakiti pihak lain, tanpa harus menyangkal Tuhan yang menyebabkan cinta itu ada.

Minggu, 08 November 2015

HAY! Masa Lalu

Hai masa lalu..
Tidak, aku hanya ingin menyapa..
Berdebukah kau ? Maav aku semakin jarang mengunjungimu. Aku di sibukkan dengan masa kini dan impian masa depan. Tenang saja, aku takkan melupakanmu. Aku hanya.. mungkin akan jarang menengokmu!

Hai masa lalu..
Aku hanya ingin menyapa. Terima kasih pernah ada. Terima kasih pernah
Mnjadi bagian perjalananku. Sedihpun bahagia kisahmu menjadi penguat langkahku di masa kini. Bukankah masa kini adalah hasil rentetan perjalanan masa lalu ?
Maka itu aku berterima kasih..

Hai masa lalu..
Aku pernah jatuh, aku pernah sakit hati.. Tapi sudah aku simpan smua cerita dalam sebuah kotak kenangan, yang kunamakan masa lalu.. Ya KAMU!
Ruangmu mungkin kini gelap. Aku psti akan sering kembali melihat ruangmu,
Namun hanya sebentar. Aku takkan lama-lama, sekedar melihat lagi seperti apa jalan yang kulalui dulu agar aku bisa belajar lagi jika saja di masa kiniku aku lupa atau mungkin lalai menjaga langkahku..

Hai masa lalu..
Lihatkah kau bagaimana aku di masa kiniku ? Bagaimana menurutmu ?
Semoga engkau bangga. Sebab apapun yang kucapai, adalah karena semua pelajaran di masa lalu begitu membekas dan mampu membentukku.

Hai masa lalu..
Mari berdamai! Aku akan belajar mendewasa. Menjadi lebih tangguh di masa kini,
Sebagai penguat langkahku dan pemantap kisahku di masa depan..
❤️ I hope God created me to be a new human being ❤️

Rabu, 01 Juli 2015

SIBUK!

Aku tak pernah sedikitpun mempermasalahkan kesibukan mu. Aku mengerti.. sangat mengerti. Karna bukan hanya kamu sendiri yang memiliki kesibukan, aku juga. Tapi pernah kah aku sesibuk kamu? oke! Aku tau kesibukan kamu memang jauh lebih padat dibanding aku, tunggu dulu deh apa bener kamu sesibuk itu? Atau kamu yang belum bisa membagi waktu sehingga waktumu terkuras habis oleh kesibukan yang sebenarnya tak sesibuk yang kamu lakukan? Ah ntah lah aku malas menerka-menerka dugaan itu. 

Sadarkah kamu dengan sikapmu? Pernah kah kamu merasa kamu mengabaikan aku? ku rasa kamu masih punya waktu luang banyak untuk sekedar menemaniku lewat sms atau telfon. Tapi kenapa kamu selalu seolah sibuk ini sibuk itu?! Atau kamu terlalu ingin terlihat SIBUK! Rasanya aku mulai benci dengan kata itu ; sibuk.

Aku disini berusaha sabar loh. Nunggu kabar kamu misalnya. Aku tidak minta banyak hal, aku tidak memaksa kamu untuk menemuiku setiap saat, aku hanya butuh kabar kamu! Cuma itu sederhana kan? sesederhana kamu mengabaikan keinginan ku itu :(
Iya aku tau kamu emang tidak harus selalu memberi kabar padaku, iya aku tau~ tau BANGET. Tapi bisa kah kamu sedikit peka dengan perasaan ku? Aku percaya kamu mengerti benar seperti apa sifat wanita. Kalo gitu bisa kan kamu mengerti perasaan aku? aku Cuma kangen kamu. sederhana kan?

Aku butuh kamu. aku butuh perhatian kamu.

Aku rasa aku sudah sabar loh disaat kamu sibuk, dan sekarang disaat kamu ada waktu luang harus juga kah kamu mengabaikan aku dan membuat ku bersabar lagi?
Aku sangat mengerti lelahmu setelah seharian berkutat dengan kesibukan itu. Tapi bukan kah berbincang dengan ku bisa mengurangi kelelahan mu? Atau berbincang dengan ku malah membuat mu semakin lelah? 

Sesibuk itu kah kamu?
hingga kamu lupa bagaimana cara memperhatikan aku
Sesibuk itu kah kamu?
hingga kamu lupa bagaimana membalas rinduku
Sesibuk itu kah kamu
hingga kamu memaksaku bersabar dengan setiap pengabaianmu.

Aku mulai kehilangan dirimu sosok kamu, kamu yang ku kenal.

Aku boleh bicara soal dulu. Dulu waktu kamu tak sesibuk ini, Dulu waktu kita masih punya banyak waktu, dulu waktu kesibukan mu tak pernah menjadi alasan mu untuk mengabaikan ku, Dulu waktu kau jauh lebih baik dari sekarang. aku suka caramu dulu, kamu yang bisa membagi waktu antara kesibukanmu dengan aku. Deaaar .. hubungin aku karna kamu butuh aku bukan karna kamu merasa wajib memberi kabar ke aku.
Apa keadaan tlah berubah? Apa kamu yang berubah? Ntahlah apa aku yang terlalu peka dengan keadaan dan perasaan aku atau kamu yang mulai kehilangan kepekaanmu dengan perasaan ku?
Ntahlah memikirkannya hanya membuatku berfikir yang tidak semestinya tentang kamu.
kamu tau? Tak pernah ada hal yang membuatku seperti ini selain kerinduan ku padamu.

Selasa, 24 Februari 2015

Cinta Itu Milikmu Juga

Cinta Itu Milikmu Juga
Langkahku gemetar. Kedua kakiku tak sanggup berjalan. Mungkin saja lelah setelah dua hari meninggalkan rumah. Aku diusir. Jangan pernah bertanya mengapa aku diusir. Bisakah dengan 2 dollar mendapatkan rumahku kembali?
Ayahku pergi dengan meninggalkan banyak hutang. Setelah meja-kursi dan lainnya lenyap, kini orang-orang itu mengambil rumahku. Rumah pemberian ibuku. Aku ingin mati agar semua tak lagi kurasakan. Kemana aku harus pergi? Sementara hari sudah malam.
Saat melewati sebuah bangunan tua, aku mendengar tawa anak-anak. Kuperkirakan mereka masih berusia 10 tahun. Aku tak ingin masuk karena memang pintunya tertutup rapat. Aku hanya berteduh sebentar sampai hujan lelah membasahi bumi.
Aku mengeluarkan sebilah pisau lipat dari sakuku. Mungkin akan lebih baik jika aku mati daripada hidup tanpa arah dan tujuan yang pasti.
“Kakak sedang apa di bawah situ?”
Suara gadis kecil itu mengejutkanku. Dia menatapku sesaat lalu mengembangkan senyumnya. Senyum yang penuh kehangatan.
“Hanya berteduh sebentar lalu pergi.”
“Kakak mau pulang?”
“Sepertinya tidak. Kakak tidak punya rumah.”
“Wah, kebetulan sekali. Kami juga tidak mempunyai rumah.”
“Kami?”
“Ya, aku dan kedua adikku.”
Cecilia mengajakku masuk ke dalam bangunan tua itu melalui jendela. Aku terkejut ketika melihat seorang anak laki-laki memeluk seorang bayi. Hanya ada perapian kecil dan juga beberapa potong kain sebagai selimut. Tidak ada yang lain lagi.
“Mereka adikmu?”
“Tentu saja. Jose dan Beatrix.”
“Sudah lama tinggal di sini?”
“Sejak Beatrix lahir.”
“Ayah dan ibumu?”
“Mereka sudah di surga dan kami senang.”
Cecilia bercerita bahwa kedua orang tuanya terbunuh ketika berusaha melawan gerombolan perampok di rumahnya. Mereka hanya bisa berlari dan menangis. Dia hanya mengingat teriakan ibunya, “Bawa pergi kedua adikmu sejauh mungkin!”
“Bagaimana kalian bisa hidup?”
“Kami bekerja di toko kue sebagi tukang cuci.”
“Lalu Beatrix?”
“Aku dan Jose bekerja secara bergantian agar bisa tetap menjaga Beatrix.”
“Kamu tidak sedih?”
“Aku sering mendengar nasihat orang-orang yang ditujukan padaku bahwa kesedihan itu pasti akan berlalu dan memang sudah berlalu dan tak berlaku. Aku tak akan bisa melakukan banyak hal jika aku tetap menangisi kedua orang tuaku.”
“Apa yang akan kamu lakukan untukmu dan kedua adikmu kelak?”
“Aku akan selalu menjaga dan mengajarkan kepada mereka bagaimana cara untuk bisa bersyukur dalam segala keadaan. Sama seperti ketika aku mendengar seorang pendeta berkotbah setiap minggunya.”
“Kamu percaya bahwa Tuhan itu ada?”
“Tentu saja.”
“Apa Tuhan itu baik?”
“Ya.”
“Lalu mengapa Dia membuat hidupmu seperti ini? Kamu ditinggal oleh orang tuamu dan harus hidup dalam kekurangan dan kesusahan. Apa Tuhan mengasihimu?”
Cecilia terdiam. Dia melihat kedua adiknya yang telah tertidur sejak awal pembicaraan kami. Tidak lama kemudian Cecilia menatap kedua mataku.
“Aku memang tidak menginginkan keadaan yang seperti ini. Tuhan juga tidak memberikan kepadaku kehidupan yang seperti dulu dimana aku masih bisa menikmati kekayaan ayahku. Tapi aku begitu yakin bahwa Tuhan mengasihiku. Tuhan membuatku kuat. Ketika aku bersyukur, maka segala kesusahan itu akan lenyap. Aku tak pernah kuatir akan esok hari karena aku percaya bahwa Tuhan selalu menjagaku.”
“Hanya itu?”
“Siapa yang mengajarimu berkata seperti itu?”
“Kehidupan.”
“Apakah Tuhanmu juga mencintaiku?”
“Tentu saja.”
“Aku tidak yakin. Bahkan aku berniat bunuh diri.”
“Oh, aku tahu sekarang.”
“Apa?”
“Tuhan mencintaimu, Kak.”
“Maksudmu?”
“Jika aku tak menemukanmu di depan pintu tadi, mungkin saja kakak sudah mati saat ini.”
“Ya, kamu benar. Jika kamu dan kedua adikmu bisa bertahan hidup…”
“Pastilah kakak bisa lebih baik dari kami.”
Tak banyak kata yang bisa kuucapkan lagi. Aku hanya bisa memeluk Cecilia dengan berurai air mata. Aku menyesali kebodohan dan keputus-asaanku. Tiba-tiba semua beban hidupku lenyap. Pengampunan untuk ayahku pun bisa kulepaskan.
Malam ini, aku tidaklah bertemu dengan seorang gadis kecil biasa. Aku seperti bertemu seorang malaikat dimana dia bisa menjawab semua kekuatiranku. Aku percaya bahwa Tuhan itu ada dan aku melihatnya malam ini.
“Kakak…”
“Ya?”
“Cinta itu… Cinta milik Tuhan Yesus adalah milikmu juga.”
“Pasti.”