Selasa, 24 Februari 2015

Cinta Itu Milikmu Juga

Cinta Itu Milikmu Juga
Langkahku gemetar. Kedua kakiku tak sanggup berjalan. Mungkin saja lelah setelah dua hari meninggalkan rumah. Aku diusir. Jangan pernah bertanya mengapa aku diusir. Bisakah dengan 2 dollar mendapatkan rumahku kembali?
Ayahku pergi dengan meninggalkan banyak hutang. Setelah meja-kursi dan lainnya lenyap, kini orang-orang itu mengambil rumahku. Rumah pemberian ibuku. Aku ingin mati agar semua tak lagi kurasakan. Kemana aku harus pergi? Sementara hari sudah malam.
Saat melewati sebuah bangunan tua, aku mendengar tawa anak-anak. Kuperkirakan mereka masih berusia 10 tahun. Aku tak ingin masuk karena memang pintunya tertutup rapat. Aku hanya berteduh sebentar sampai hujan lelah membasahi bumi.
Aku mengeluarkan sebilah pisau lipat dari sakuku. Mungkin akan lebih baik jika aku mati daripada hidup tanpa arah dan tujuan yang pasti.
“Kakak sedang apa di bawah situ?”
Suara gadis kecil itu mengejutkanku. Dia menatapku sesaat lalu mengembangkan senyumnya. Senyum yang penuh kehangatan.
“Hanya berteduh sebentar lalu pergi.”
“Kakak mau pulang?”
“Sepertinya tidak. Kakak tidak punya rumah.”
“Wah, kebetulan sekali. Kami juga tidak mempunyai rumah.”
“Kami?”
“Ya, aku dan kedua adikku.”
Cecilia mengajakku masuk ke dalam bangunan tua itu melalui jendela. Aku terkejut ketika melihat seorang anak laki-laki memeluk seorang bayi. Hanya ada perapian kecil dan juga beberapa potong kain sebagai selimut. Tidak ada yang lain lagi.
“Mereka adikmu?”
“Tentu saja. Jose dan Beatrix.”
“Sudah lama tinggal di sini?”
“Sejak Beatrix lahir.”
“Ayah dan ibumu?”
“Mereka sudah di surga dan kami senang.”
Cecilia bercerita bahwa kedua orang tuanya terbunuh ketika berusaha melawan gerombolan perampok di rumahnya. Mereka hanya bisa berlari dan menangis. Dia hanya mengingat teriakan ibunya, “Bawa pergi kedua adikmu sejauh mungkin!”
“Bagaimana kalian bisa hidup?”
“Kami bekerja di toko kue sebagi tukang cuci.”
“Lalu Beatrix?”
“Aku dan Jose bekerja secara bergantian agar bisa tetap menjaga Beatrix.”
“Kamu tidak sedih?”
“Aku sering mendengar nasihat orang-orang yang ditujukan padaku bahwa kesedihan itu pasti akan berlalu dan memang sudah berlalu dan tak berlaku. Aku tak akan bisa melakukan banyak hal jika aku tetap menangisi kedua orang tuaku.”
“Apa yang akan kamu lakukan untukmu dan kedua adikmu kelak?”
“Aku akan selalu menjaga dan mengajarkan kepada mereka bagaimana cara untuk bisa bersyukur dalam segala keadaan. Sama seperti ketika aku mendengar seorang pendeta berkotbah setiap minggunya.”
“Kamu percaya bahwa Tuhan itu ada?”
“Tentu saja.”
“Apa Tuhan itu baik?”
“Ya.”
“Lalu mengapa Dia membuat hidupmu seperti ini? Kamu ditinggal oleh orang tuamu dan harus hidup dalam kekurangan dan kesusahan. Apa Tuhan mengasihimu?”
Cecilia terdiam. Dia melihat kedua adiknya yang telah tertidur sejak awal pembicaraan kami. Tidak lama kemudian Cecilia menatap kedua mataku.
“Aku memang tidak menginginkan keadaan yang seperti ini. Tuhan juga tidak memberikan kepadaku kehidupan yang seperti dulu dimana aku masih bisa menikmati kekayaan ayahku. Tapi aku begitu yakin bahwa Tuhan mengasihiku. Tuhan membuatku kuat. Ketika aku bersyukur, maka segala kesusahan itu akan lenyap. Aku tak pernah kuatir akan esok hari karena aku percaya bahwa Tuhan selalu menjagaku.”
“Hanya itu?”
“Siapa yang mengajarimu berkata seperti itu?”
“Kehidupan.”
“Apakah Tuhanmu juga mencintaiku?”
“Tentu saja.”
“Aku tidak yakin. Bahkan aku berniat bunuh diri.”
“Oh, aku tahu sekarang.”
“Apa?”
“Tuhan mencintaimu, Kak.”
“Maksudmu?”
“Jika aku tak menemukanmu di depan pintu tadi, mungkin saja kakak sudah mati saat ini.”
“Ya, kamu benar. Jika kamu dan kedua adikmu bisa bertahan hidup…”
“Pastilah kakak bisa lebih baik dari kami.”
Tak banyak kata yang bisa kuucapkan lagi. Aku hanya bisa memeluk Cecilia dengan berurai air mata. Aku menyesali kebodohan dan keputus-asaanku. Tiba-tiba semua beban hidupku lenyap. Pengampunan untuk ayahku pun bisa kulepaskan.
Malam ini, aku tidaklah bertemu dengan seorang gadis kecil biasa. Aku seperti bertemu seorang malaikat dimana dia bisa menjawab semua kekuatiranku. Aku percaya bahwa Tuhan itu ada dan aku melihatnya malam ini.
“Kakak…”
“Ya?”
“Cinta itu… Cinta milik Tuhan Yesus adalah milikmu juga.”
“Pasti.”

Senin, 23 Februari 2015

APA AKU BERLEBIHAN?

Hai kamu. Cerita ini tidak semua fiktif, dan tidak semua terjadi pada aku atau kamu yang saat ini sedang membaca. Hanya saja…. Ah sudahlah baca saja ya :)

 “Kamu alay ih, kenapa sih cinta-cintaan itu harus ditulis di sosmed!”
Maaf sayang kalau menurutmu pengungkapan rasa cintaku terhadapmu ini berlebihan, menurutku ini wajar sejujurnya terkadang ada sesuatu yang tidak bisa diungkapkan melalui perkataan langsung, dan entah kenapa aku berusaha positif bahwa suatu saat kamu dan yang membaca status-statusku pasti akan merasakan hal yang sama denganku. Bener deh, ada rasa yang terpuaskan bila diungkapkan dengan tulisan.

“Kamu kenapa sih berlebihan banget. Memangnya aku harus setiap detik setiap saat kasih kabar ke kamu. Aku juga punya kesibukan kali!”
Duh kayanya kali ini kamu yang berlebihan deh, aku tidak bermaksud seperti itu, hanya saja perempuan terkadang hanya ingin merasa penting untuk pasangannya. Tidak setiap detik setiap menit juga harus memberi kabar. Tetapi jika saat ada satu momen yang tidak biasa atau belum biasa kamu alami, coba share ke aku dengan begitu aku merasa menjadi penting dan berarti untukmu, itu salah satu kebahagiaanku sayang.

“Ya ampun Sayang mulai deh berlebihan, gak ngucapin anniversary di bbm aja kamu ngambek, kan bisa nanti pas ketemu ngasih selamatnya..”
Ini bukan masalah bbmnya Sayang, ini kembali menjadi prioritas. Aku tau kamu gak suka cara seperti itu, tapi apa salahnya sih sms atau telepon setelah kamu bangun tidur (jika kamu ingat). Oh iya mengapa aku bilang bukan masalah sms atau bbmnya, ini masalah prioritas kembali lagi apakah aku ini merasa penting buat kamu atau tidak.

“Duh Sayang jangan berlebihan dulu ngomongin pernikahan, kita kan masih muda waktu kita masih panjang..”
Huhuhu, sebenernya sebagai perempuan yang telah pacaran lama mungkin agak sedih mendengar itu. Memang sih kita masih muda, jalan kita masih panjang, tetapi kamu tidak menyadari di balik ucapan itu ada rasa ketidakseriusan. Membicarakan tentang pernikahan saat ini menurutmu berlebihan mungkin yang ada di pikiranmu kita ini belum pasti berjodoh, memang sih jodoh hanya Tuhan yang tahu. Tapi apa aku berlebihan jika aku ingin kamu yang nantinya berdecak haru melihatku mengenakan gaun pengantin dan berjalan ke arahmu?

“Kamu gimana sih, kamu nyuruh aku romantis, tapi pas aku tanya bagaimana caranya kamu tidak tau. Memangnya aku ini bisa baca pikiran kamu? Dasar cewek!..”
Sayang pleaseeee, aku ini memang cewek, gak perlu jadikan gender sebagai alasan untuk sebuah ego. Kamu selalu menyuruh aku bersabar saat menghadapi amarahmu, apakah kamu pernah memberitahuku bagaimana caranya? Tidak. Aku saja yang berinisiatif menemukan cara untuk menghadapi moodmu.

“Kamu jangan berlebihan dong, aku kan gak kasih tau kamu supaya kamu gak marah..”
Ini nih yang bikin aku badmood. Aku engga berlebihan sayang, aku ingin kamu jujur walaupun nantinya aku akan marah, kecewa, kesal, atau nangis sekalipun, yang penting kamu jujur aja dulu. Toh nantinya walaupun kamu tidak memberitahu, aku akan tau dengan sendirinya. Suatu ‘kebenaran’ akan muncul ke permukaan dengan sendirinya walaupun sudah kamu buang ke palung laut.

“Maafin aku Sayang, aku gak bisa romantis.”
Tuh kamu bisa.. Kamu pasti gak menyadarinya kan kalau kamu ternyata bisa romantis. Romantis itu tidak selalu sesuatu yang dilebih-lebihkan, tidak selalu menggunakan materi, tidak melulu puisi atau lagu, dan tidak selalu menggunakan rayuan.

Kamu pasti tau mengapa manusia diciptakan berbeda-beda, dan kamu juga pasti paham sekali mengapa kita dipertemukan dalam banyak perbedaan, aku hitam kamu putih, aku gemuk kamu kurus, aku manis kamu ganteng. Hehehe..
Sayang, dalam suatu hubungan itu harus saling mengisi kekosongan dan saling melengkapi jika ada kekurangan. Aku tidak bermaksud berlebihan, aku hanya berusaha mencintaimu apa adanya..