Ini adalah kisah SAHABATku tentang ayahnya:
Dulu aku pernah tidak setuju dengan ayahku yang menolong orang tanpa menyelidiki terlebih dahulu. Entah knapa ayahku begitu mudahnya percaya pada orang-orang yang meminta tolong kepadanya, baik itu tenaga maupun materi, selama ayahku ada atau mampu, dia pasti akan berikan pada setiap orang tanpa pandang bulu. Sampai-sampai tabungan yang ia kumpulkan dari jerih payahnya berjualan mie pangsit bertahun-tahun lalu, dengan gampangnya dia berikan kepada orang-orang yang meminta bantuan materi kepadanya.
Pernah aku bertanya pada beliau, “Ayah mengapa ayah korbankan tabungan ayah untuk orang-orang yang ayah tidak tahu apakah mereka benar-benar membutuhkannya atau cuma menipu".
Beliau menjawab “Nak, selama kita menganggap orang lain itu baik, maka pertolongan yang kita berikanpun akan dianggap baik oleh Tuhan. Sebenarnya rasa yang ayah rasakan saat kita mampu menolong orang yang membutuhkan itu saja sudah sangat cukup membahagiakan ayah, membuat ayah sangat bersukur kepada Tuhan”.
Saat itu aku masih memprotesnya, “Tapi ayah sudah bertahun-tahun menabung, sejak ayah berjualan mie pangsit keliling sampai ayah sanggup membuka kedai mie pangsit yang cukup besar. Uang yang ayah kumpulkan itu seharusnya bisa kita gunakan untuk mengembangkan usaha ayah, atau kita gunakan untuk membeli rumah baru yang lebih besar dari rumah kita sekarang, membeli mobil baru, atau mungkin kita gunakan untuk berlibur keliling Indonesia bahkan ke luar negeri. Kalau ayah memanajemennya dengan baik, dan membagi-bagi harta yang ayah miliki pada pos-post yang sudah ayah tentukan sebelumnya, tentu ayah tidak harus sampai mengorbankan tabungan ayah” kataku setengah berteriak.
Dengan sabar ayahku menjawab “Ayah doakan suatu saat kamu akan mengerti bahwa tak seharusnya kita mengorbankan hak-hak orang lain yang membutuhkan bantuan demi memuaskan keinginan diri kita sendiri. Yang paling utama, ayah tidak mengorbankan hak-hak ibumu dan anak-anak ayah untuk hidup cukup dan mendapat pendidikan sampai kamu dapat berdiri sendiri”.
Setelah ayah meninggal, sempat terselip penyesalan mengapa ayah tidak mendengar kata-kataku, dan yang terjadi sekarang yang ayah wariskan cuma rumah kecil, kedai mie pangsit dan beberapa barang sederhana.
Hal pertama yang menghiburku adalah banyaknya pelayat yang mengiringi ayah ke kuburan. Orang-orang di jalan yang melihat iring-iringan pelayat menyangka yang dimakamkan adalah pejabat. Tak perlu menunggu lama, banyak orang-orang berdatangan dan dulu mengaku pernah dibantu oleh ayah, karena mereka sekarang sudah sukses, merekapun memberi bantuan kepada keluarga kami. Bahkan ada yang menawarkan pekerjaan kepada anak-anak ayah yang ingin bekerja. Kami menolaknya dengan baik-baik. Uang bantuan yang diberikan itu kami jadikan modal untuk mengembangkan usaha mie pangsit yang telah ayah bangun. Ternyata usaha kami berkembang sangat cepatnya karena lebih banyak lagi orang-orang yang merasa pernah ditolong ayah membantu usaha kami. Dan setiap aku atau adik-adikku melakukan suatu urusan atau bepergian keluar kotapun, hampir bisa dipastikan kami bertemu meskipun tidak secara sengaja dengan orang-orang yang mengaku mengenal ayah kami. Dan begitu tahu bahwa kami anak ayah, maka kemudahan-kemudahanlah yang kami dapat dari mereka.
Dan saat ini dari hasil bisnis keluarga yang berkembang pesat aku mampu membuka cabang-cabang usaha di beberapa daerah, mengirim adik-adikku pada tingkat sarjana, bahkan saat ini mereka ditawarkan kuliah lanjutan S2 oleh salah seorang kawan lama ayah yang mengaku pernah ditolong oleh ayah. Ini membuatku teringat kata-kata beliau bahwa, "Hidup tidak selalu tentang memuaskan keinginan pribadi kita. Bahagia tidak selalu diukur dari barang-barang mewah yang kita miliki. Dan menolong orang lain tidak selalu saat kita berada di puncak tertinggi kehidupan".
Semua kebaikan ayah, kamilah anak-anaknya yang menuainya, menikmati hasilnya di dunia. Dan aku yakin ayah menuai hasilnya di surga. Ayah memang tidak mewariskan harta yang banyak, rumah besar dan barang mewah, tetapi beliau mewariskan kepada semua orang kebaikan yang banyak. Dan karena kebaikan itulah kami hidup dihormati dan disayangi oleh orang-orang. Dalam hati aku berjanji akan akan meneruskan sikap dan sifat ayahku, karena setiap orang yang membutuhkan layak mendapat bantuan.
"Amsal 3:27 Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya."